Sabtu, 21 Maret 2015

Sukinah

Entah apa yang bergemuruh dalam dada perempuan paruh baya itu. wajahnya mulai pias dan pucat. ada luka teramat dalam yang tak mampu lagi ditanggungnya sendiri. berkali-kali ia menahan mual mendengar penjelasan pria perlente dari menara gading, yang mereka sebut, saksi ahli.


Ia tak lagi mampu memahami jalan pikiran orang orang ahli itu, yang kerap berbicara dalam bahasa yang ia tak pahami. Tetapi satu hal yang ia tau pasti, lelaki itu, sang saksi ahli, yang sungguh patut dikasihani, sedang menggadaikan nuraninya sendiri.


Sukinah tau, jauh didasar hatinya muncul rasa iba yang lebih besar daripada kebenciannya pada sang ahli yang lebih mirip monster kelaparan yang dihukum untuk terus menerus menjadi tamak.


Maka bersyukurlah ia melihat petani-petani yang membersamainya tak perlu hidup dengan cara semenjijikkan itu. Sungguh, seandainya saja ia punya obat yang bisa diberikan sebagai penawar ketamakan monster itu, pasti akan diberikannya cuma cuma.


Ia seka peluh dengan tangannya yang melepuh terkena sabit pari. Ingatannya melayang kepada sawah-sawahnya nun jauh disana. Yang hari ini terpaksa ditinggalkannya demi kehidupannya yang lebih panjang. Sudah sembilan tahun ini tiap malam ia tak pernah tidur nyenyak. Sepulangnya dari sawah, tiap kali tertidur ia selalu dihantui mimpi buruk. Tubuhnya digiling dalam mesin molen besar pengaduk semen. Didepannya, cucunya yang kurus kering memakan bangkai tikus.


Ia sungguh tak tahan lagi menjumpai mimpi buruk yang berulang datang itu. Ia bulatkan tekadnya untuk ikut menggagalkan pembangunan pabrik semen. Yang akan menghancurkan tanah, kenangan dan harapannya.


Pegunungan Kendeng adalah tempat yang teramat dicintainya. Disana, ia habiskan masa kanak-kanaknya bermain gembira bersama teman-teman kecilnya. Bersembunyi, berlarian, saling menemukan dalam permainan sederhana ala anak desa, petak umpet. Dan setelah lelah mereka akan beramai-ramai menuju mata air yang segar untuk menghilangkan dahaga di siang yang kerontang. Di tanah yang sama jugalah ia menghabiskan masa gadisnya untuk jatuh cinta dengan para penggembala desa. Lalu menikah dan membesarkan putra putrinya. Ah, pegunungan itu, begitu banyak bagian dari hidupnya yang melekat disana.


Meski sehari-hari ia makan seadanya dari hasil panen yang tak menentu tetapi ia tau ia bahagia, dulu. Hidup membersamai sang Ibu bumi. Sebelum mimpi buruk itu datang. Dan monster tamak itu muncul.


Entah seberapa susah hidup monster tamak itu, ia tak sanggup membayangkan. Dan tak ingin memilih hidup berkubang dusta seperti itu. Dalam doa-doanya dipanjatkannya harapan agar kawanan monster itu tak lagi bergigi untuk memamah ibu buminya. Ibu yang yang menghidupinya, yang memberikan air susunya tak hanya untuknya tetapi juga untuk daging-daging yang bersembunyi dibalik kulit semua manusia. 

Lamunannya buyar setelah datang tepukan kecil dibahunya, 
"awakke dewe kalah, mbok. pabrik tetep dibangun, 16 juni 2014 mlebu Rembang. entek tanahe anak putu."
Ruang sidang riuh bergemuruh, beberapa aktifis menghujat keputusan hakim. Poster-poster serupa kain tak berguna dimata para penegak hukum negara. Seketika lututnya lemas, ingatannya melayang pada nasehat mbah rondo, nenek sepersusuan ibunya: ora cukup mung nyiapke anak putu nggo urip nang ndonya, dewe iki kudu nyiapke ndonya nggo anak putu. Mimpi buruknya yang selalu berulang, diputarnya lagi dalam ingatan sepotong yang dipaksa nya untuk menjauh, tetapi barangkali hidup memang tak selamanya mudah, apalagi sejak hari ini. Tak pernah akan mudah. Ia paksa kepalanya mendongak keatas, menghadapi kenyataan didepan matanya. Ia tegakkan lututnya dan berjalan menjauhi meja peradilan. Keluar.

Di seberang meja peradilan itu, dia lihat seorang gadis tengah memandangnya kikuk. Ia pandangi lekat-lekat raut waajah gadis itu, kedalaman matanya. Dia teringat cucu perempuan semata wayangnya. Dalam mata gadis yang berkaca-kaca itu, ia rasakan kelegaan yang luar biasa. Atas kesedihan yang ditunjukkan orang asing itu, bahwa disana tak hanya ada orang-orang yang menggadaikan nurani tetapi juga mereka yang berjuang mati-matian untuk menghidupkan nurani. Ia berjanji tak akan berhenti disini.

..and alien tears will fill for him
pity's long-broken urn,
for his mourners will be outcast men,
and outcasts always mourn. (Oscar Wilde)

air mata orang asing akan menetes untuknya
duka atas keranda yang rusak binasa,
sebab yang berkabung baginya hanya kaum tersia,
dan mereka yang tersia-sia selalu berduka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo ngomen :)