Kamis, 16 April 2015

Senja Milik Perempuan Tua

senja yang teduh. datang seusai siang yang meradang. diberanda duduk bersama, dua perempuan biasa. dalam busana apa adanya. mereka berbagi luka.

ditemani teh hangat dan pisang goreng panas. kisah mulai dituturkan, masa lalu yang kelam serupa bayang-bayang malam. ada, tapi tak utuh terjangkau. hanya rasa sakitnya masih terasa denyutnya.

Perempuan tua itu masih ingat ketika pertama kali, gadis muda itu mulai berkeluh kesah. Tentang kisah kasihnya bersama seorang lelaki bajingan yang tak tau diuntung. Sampai kini, gadis muda itu tak berhasil memahami bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti lelaki itu. tanpa merasa bersedih sedikitpun. Bahkan sejak malam itu dan sesudah taun-taun berselang, tak sepatah kata maafpun terluncur dari mulut lelaki hina itu. Memang barangkali kata-kata itu terlalu suci untuk diucapkannya. Kebenciannya berlipat-lipat. Serupa kesumat yang penuh kutuk dan harapan buruk. Telah dihancurkannya hidupnya, masa mudanya yang hanya sebentar untuk memperjuangkan lelaki bangsat tak tau diuntung itu. Sudah tak terhitung berapa keringat yang diperasnya untuk menyambung hidup lelaki tak tau malu itu. Tak cukup hanya keringatnya, kini sepeninggalnya, lelaki itu juga merenggut cahaya kehidupannya. Menghancurkan cita-cita dan harapan orang tuanya. Gadis muda yang menjadi kebanggan orang tuanya dulu, kini hanya menjadi manusia rongsokan yang banyak dicela dan dikucilkan. Karena kebiasaannya yang aneh dan kerap mengurung diri. Prestasi-prestasinya disekolah yang berderet-deret hanya menjadi kenangan, dia menjadi gadis paling bodoh yang pernah dikenalnya sendiri.
“perempuan sejati tak hidup berkalang lelaki.”   Dengusnya lembut selembut asap cigaret yang dihembuskan dari pipa tuanya. Kata pertama yang diucapkannya untuk gadis muda itu.
Semesta tau dan tak pernah berhenti menjaga keseimbangannya. Dipertemukannya gadis muda itu kepada perempuan tua yang kini duduk diberanda bersamanya. Perempuan senja, begitu gadis muda itu biasa memanggilnya. Perempuan yang tak mengenal bangku sekolah tetapi hafal banyak isi buku-buku diperpustakaan. Perempuan yang kecerdasannya terasah di alam yang liar. Perempuan yang ketangguhan jiwanya tak pernah berhasil dijangkau gadis cabe-cabe an di masanya.
“...tetapi bukan berarti perempuan tak butuh lelaki untuk dicintai.” Lanjut perempuan tua itu tegas, setegas raut wajahnya yang mulai keriput.
Perempuan itu bukan nyai Ontosoroh, bukan nyai wonokromo, tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer, pengarang yang tulisannya digandrungi gadis muda itu. Perempuan itu adalah petani desa, ibu rumah tangga yang menikah dua kali dengan lelaki biasa biasa saja dan hanya memiliki anak dari pernikahan keduanya. Perempuan yang hatinya diperbaja dan ditempa oleh perbuatan suami dan anak-anak lelakinya sendiri...........

(bersambung)


Sabtu, 21 Maret 2015

Sukinah

Entah apa yang bergemuruh dalam dada perempuan paruh baya itu. wajahnya mulai pias dan pucat. ada luka teramat dalam yang tak mampu lagi ditanggungnya sendiri. berkali-kali ia menahan mual mendengar penjelasan pria perlente dari menara gading, yang mereka sebut, saksi ahli.


Ia tak lagi mampu memahami jalan pikiran orang orang ahli itu, yang kerap berbicara dalam bahasa yang ia tak pahami. Tetapi satu hal yang ia tau pasti, lelaki itu, sang saksi ahli, yang sungguh patut dikasihani, sedang menggadaikan nuraninya sendiri.


Sukinah tau, jauh didasar hatinya muncul rasa iba yang lebih besar daripada kebenciannya pada sang ahli yang lebih mirip monster kelaparan yang dihukum untuk terus menerus menjadi tamak.


Maka bersyukurlah ia melihat petani-petani yang membersamainya tak perlu hidup dengan cara semenjijikkan itu. Sungguh, seandainya saja ia punya obat yang bisa diberikan sebagai penawar ketamakan monster itu, pasti akan diberikannya cuma cuma.


Ia seka peluh dengan tangannya yang melepuh terkena sabit pari. Ingatannya melayang kepada sawah-sawahnya nun jauh disana. Yang hari ini terpaksa ditinggalkannya demi kehidupannya yang lebih panjang. Sudah sembilan tahun ini tiap malam ia tak pernah tidur nyenyak. Sepulangnya dari sawah, tiap kali tertidur ia selalu dihantui mimpi buruk. Tubuhnya digiling dalam mesin molen besar pengaduk semen. Didepannya, cucunya yang kurus kering memakan bangkai tikus.


Ia sungguh tak tahan lagi menjumpai mimpi buruk yang berulang datang itu. Ia bulatkan tekadnya untuk ikut menggagalkan pembangunan pabrik semen. Yang akan menghancurkan tanah, kenangan dan harapannya.


Pegunungan Kendeng adalah tempat yang teramat dicintainya. Disana, ia habiskan masa kanak-kanaknya bermain gembira bersama teman-teman kecilnya. Bersembunyi, berlarian, saling menemukan dalam permainan sederhana ala anak desa, petak umpet. Dan setelah lelah mereka akan beramai-ramai menuju mata air yang segar untuk menghilangkan dahaga di siang yang kerontang. Di tanah yang sama jugalah ia menghabiskan masa gadisnya untuk jatuh cinta dengan para penggembala desa. Lalu menikah dan membesarkan putra putrinya. Ah, pegunungan itu, begitu banyak bagian dari hidupnya yang melekat disana.


Meski sehari-hari ia makan seadanya dari hasil panen yang tak menentu tetapi ia tau ia bahagia, dulu. Hidup membersamai sang Ibu bumi. Sebelum mimpi buruk itu datang. Dan monster tamak itu muncul.


Entah seberapa susah hidup monster tamak itu, ia tak sanggup membayangkan. Dan tak ingin memilih hidup berkubang dusta seperti itu. Dalam doa-doanya dipanjatkannya harapan agar kawanan monster itu tak lagi bergigi untuk memamah ibu buminya. Ibu yang yang menghidupinya, yang memberikan air susunya tak hanya untuknya tetapi juga untuk daging-daging yang bersembunyi dibalik kulit semua manusia. 

Lamunannya buyar setelah datang tepukan kecil dibahunya, 
"awakke dewe kalah, mbok. pabrik tetep dibangun, 16 juni 2014 mlebu Rembang. entek tanahe anak putu."
Ruang sidang riuh bergemuruh, beberapa aktifis menghujat keputusan hakim. Poster-poster serupa kain tak berguna dimata para penegak hukum negara. Seketika lututnya lemas, ingatannya melayang pada nasehat mbah rondo, nenek sepersusuan ibunya: ora cukup mung nyiapke anak putu nggo urip nang ndonya, dewe iki kudu nyiapke ndonya nggo anak putu. Mimpi buruknya yang selalu berulang, diputarnya lagi dalam ingatan sepotong yang dipaksa nya untuk menjauh, tetapi barangkali hidup memang tak selamanya mudah, apalagi sejak hari ini. Tak pernah akan mudah. Ia paksa kepalanya mendongak keatas, menghadapi kenyataan didepan matanya. Ia tegakkan lututnya dan berjalan menjauhi meja peradilan. Keluar.

Di seberang meja peradilan itu, dia lihat seorang gadis tengah memandangnya kikuk. Ia pandangi lekat-lekat raut waajah gadis itu, kedalaman matanya. Dia teringat cucu perempuan semata wayangnya. Dalam mata gadis yang berkaca-kaca itu, ia rasakan kelegaan yang luar biasa. Atas kesedihan yang ditunjukkan orang asing itu, bahwa disana tak hanya ada orang-orang yang menggadaikan nurani tetapi juga mereka yang berjuang mati-matian untuk menghidupkan nurani. Ia berjanji tak akan berhenti disini.

..and alien tears will fill for him
pity's long-broken urn,
for his mourners will be outcast men,
and outcasts always mourn. (Oscar Wilde)

air mata orang asing akan menetes untuknya
duka atas keranda yang rusak binasa,
sebab yang berkabung baginya hanya kaum tersia,
dan mereka yang tersia-sia selalu berduka



Dalam Bayang Bayang Alam

Ranu pani, 12 Maret, desa itu di bulan ini nampak lengang. Posko pendakian memang sedang sepi. Semeru sedang diijinkan untuk bercengkerama dengan para hewan yang tak manja dan pinus-pinus yang ayu berpesta pora. Melantunkan sunyi sejak tak ada pendaki yang seringkali tak tau diri. Sunyi yang membunyikan irama indah milik para dewa dewi. Kali ini aku dan beberapa sahabat volunteer perlu menengok juga kesana, barangkali seminggu, mendengarkan kidung sunyi alam, bunyi indah yang sering sembunyi. Bukan untuk misi ambisius ala pendaki atau anak pecinta alam, aku hanya akan menukang disana. Membuat toilet knockdown. Sore sebelum kepergianku, gadis peneliti aneh, yang kujumpai beberapa minggu lalu mengirimiku sebuah pertanyaan. 
“Kenapa harus membuat toilet mas?” Pertanyaan bodoh, batinku. 
"Kujawab saja sekenanya: “Sudah tuntutan. Biar gak semakin kotor.
“Tapi mas, kenapa toilet? Yang parah bukannya sampah plastiknya ya?”
Gadis keras kepala itu terus saja bertanya hal-hal bodoh. Tapi tetap saja aku tak tahan untuk mengabaikannya. 
“Memang, tapi manusianya? Susah diatur. Buangnya sembarangan.” 
 Kudengar handphone ku berbunyi, dari gadis bodoh itu lagi. 
 “Tapi mas......” 
Kubiarkan saja pesannya yang memang sedikit mengganggu. Aku toh sedang sibuk mempersiapkan bekal untuk hidup dikumbolo nanti. Beberapa hari kedepan aku dan beberapa sahabat volunteer semeru yang kata teman perempuan gadis bodoh itu, anak-anak server, walaupun kami menyebutnya saver, akan membuat toilet di 3 titik di semeru. 

Aku sendiri tak pernah tau mengapa aku mau melakukan hal-hal seperti ini, yang di mata orang tua ku pasti dianggap kurang kerjaan. Mungkin juga sebenarnya aku hanya ingin lari dari kesedihan akan perasaan sepi. Sejak istriku meninggal dalam sebuah kecelakaan, aku memang tak berniat untuk membangun rumah tangga kembali. Apalagi putri kecilku kini telah berhasil hidup mandiri. Akhirnya kuhabiskan hidupku untuk mengembara dari gunung ke gunung. Sampai kakiku terpaku ditanah Ranu Pani, tempat yang berhasil membuatku jatuh cinta. 

Tempat dengan alam raya nya yang begitu kaya tetapi kontras dengan penduduknya yang jauh terbelakang. Kadangkala aku merasa sakit melihat mereka yang dari jauh menatap kagum luar biasa pada tamu-tamu bule tanpa sanggup berkata-kata. Akhirnya, aku berikan waktu dan kemampuanku yang tak seberapa dengan teman-teman untuk membangun perpustakaan kecil didesa, mengajar anak-anak membaca dan berbahasa inggris sekenanya agar mereka pun mampu menjadi setara. Aku sendiri kerap kesal pada guru-guru yang hanya datang seminggu sekali. Entah apa yang diajarkan di sekolah sampai masih banyak yang tak bisa baca tulis. 

Sebelum senja memunculkan Sang bathara kala, aku bergegas berkemas dan menancapkan gas menuju Ranu Pani. Diperjalanan, seperti biasa kabut turun menyapa dalam dingin. Tubuhku memang sudah terbiasa dengan hawa dingin tetapi aku agak malas membayangkan harus melewati jalan-jalan terjal yang berlubang selepas desa Ngadas, yang tak juga kunjung diperbaiki pemerintah. Meski masyarakat Tengger adalah orang-orang yang taat membayar pajak. Yang lebih mengherankan, katanya daerah yang kulalui ini termasuk dalam destinasi wisata internasional. Tapi, mengapa aku harus heran? Toh memang beginilah kelakuan pemerintah, birokrasi berbelit-belit, masyarakat dibiarkan sulit. Ngadas memang desa diujung kabupaten Malang sementara Ranupani desa diujung kabupaten Lumajang. Barangkali jalan yang menghubungkan kedua desa itu yang sudah lumayan parah, tak juga dibenahi karena tak ada kabupaten yang merasa bertanggung jawab. Lalu dimanakah pemerintah pusat? Ah, pusat selalu saja bermasalah. Meski maunya uang dan proyek menumpuk saja dipusat. Seandainya tak pernah ada pusat barangkali segalanya menjadi lebih mudah. 

Kuantarkan senja tepat setelah melewati vihara desa Ngadas. Vihara yang cukup unik, ada dua bangunan disana yang kental nilai akulturasi. Bangunan pertama adalah bekas punden tempat masyarakat desa sejak dulu melakukan upacara adat pujan sampai unan-unan. Dari tepi jalan, tengok saja papan nama didepan bangunan, ada dua huruf yang menandai vihara, akasara jawa yang berbunyi: sanggar pasembahan jawa sanyata dan huruf latin: sanggar pasembahan vihara paramita. Orang-orang tengger Ngadas biasa menyebut organisasi mereka sebagai Budha Jawa Sanyata. Agama mayoritas yang dianut didesa ini. Masyarakat Ngadas memang agak berbeda dengan masyarakat didesa Tengger lain yang mayoritas mengaku beragama Hindu Jawa. Berbeda dengan Hindu Bali, katanya tak ingin disamakan. 

Gelap menggelayut, jalan-jalan terjal berlubang mulai nampak dipelupuk, kukuatkan semangatku dan membatin semoga motor tak bermasalah. Beberapa truk sayur yang kemalaman nampak berlalu lalang, terpaksa kuhentikan laju motor sebentar dan memastikan rekan dibelakangku aman tak tertinggal. Jalanan ini memang melelahkan. Kutunggu teman yang lampu motornya agak bermasalah. 
“Sira, disikko wae.” (kamu duluan saja). 
Setelah agak payah dengan perjalanan malam, kami memasuki kampung tepat diujung adzan isya’ yang terdengar dari masjid. Kuhampiri rumah salah seorang temanku, Sis, yang sedang mengajar anak-anak membaca. Melihat Sis dan anak-anak disini selalu memompa semangatku, menguatkan diriku, bahwa sekecil apapun yang kulakukan disini begitu berarti dan berharga untuk mereka. Meski barangkali aku hanya lari dari sepi, mencari sebuah kehidupan yang menentramkan. Kuinsyafi satu hal malam itu, merekalah yang sebenarnya memberikan dan mengajarkan arti kehidupan untukku. Dalam hal ini, bukan aku atau Sis yang menjadi guru, merekalah guru kami. 

Kuajak Sis untuk melakukan persiapan dibasecamp yang baru kemarin selesai dicat sambil melakukan briefing untuk keberangkatan kekumbolo esok. Ku bonceng dia melalui danau yang mulai kotor dan dangkal. Danau yang tetap menjadi tempat orang-orang betah semalaman memancing tanpa peduli dingin yang menusuk tulang. Sangat disayangkan memang, mereka hanya tau memancing dan sesekali menggerutu tentang danaunya yang semakin banyak sampah. Menuding para tamu tak bertanggung jawab yang hanya bisa foto-foto, ngecamp dan nyampah. Memang mungkin rasanya indah jika danau ini dimiliki dan dijaga bersama-sama. Tak perlu lagi ada sampah yang berceceran dari ladang maupun wisatawan, tak perlu ada warga yang menggerutu karena tempatnya kotor dan wisatawan yang sah-sah berfoto dengan pemandangan yang tentunya jauh lebih indah, tanpa sampah. Ah, seandainya. 

Kuparkir motor ku didepan basecamp, anak-anak saver sudah banyak yang didalam. Sambil menyeduh kopi panas kami berbincang perihal rencana kekumbolo esok, membagi tugas dan mengecek persiapan lagi. Tak butuh waktu lama memang karena kami toh sudah terbiasa mendaki tanpa perlu lagi diberitau itu ini. Malam ini kututup dengan banyak angan-angan. Semoga esok alam berkenan menyapaku dalam nyanyi sunyi nya yang luar biasa indah. Esok pagi matahari tampak malu-malu, awan gelap mendominasi langit Ranu Pani. Pukul 10 kami serombongan memantapkan langkah berangkat menuju Ranu Kumbolo, setelah berdoa untuk keselamatan. Sampai di pos 1, hujan deras mengguyur. Kami putuskan untuk rehat sambil mengambil beberapa jas hujan untuk melindungi badan. Alam, memang tak selamanya mudah dalam bekerjasama. Tapi dalam rintik air yang deras itu, ku tangkap satu pesan dari hujan... 

Pertemuan kita adalah tatapan hati 
Yang derasnya kita kumpulkan sendiri 
Menjelma dingin yang mengantarkan gigil 
Dan basah pada kuyup tubuhku 
Sebab rindumu pada bumi 
Yang kau simpan rapat di tiap rintikmu 
Hingga ia jatuh dan meruapkan wangi 
Wangi, yang membuat iri para dewa dewi 

Dari jauh, kudengar sayup-sayup nasehat pak tomo, dukun Tengger dalam perbincangan kami beberapa waktu lalu. 
“Wong Tengger nek pengen anteng tur seger, kuncine mung siji: memayu hayuning bawana.”
 


Srintil dan Bola Dunia

Senja membawa kabar bahagia. Tetanggaku Mang Engkos pulang dari mengayuh becaknya lebih awal. Biasanya mang engkos selalu pulang larut malam. Saat bulan dan bintang tak lagi kepanasan dilangit. Sehingga mereka bebas bersinar dengan terang. 

Aku senang sekali bermain dengan mang engkos. Mang Engkos selalu pulang membawa banyak permen. Warna warni banyak sekali. Aku biasanya memilih yang merah. Kata mang engkos, aku memang anak pemberani. Merah artinya berani, katanya saat dia bercerita tentang bendera indonesia yang berwarna merah putih. Putih artinya suci. Biasanya aku akan tertawa dan membusungkan dada dipuji seperti itu.
"Sriiiii.."
Setelah meletakkan becaknya didepan warung kopi ibu, mang engkos segera memanggilku. Mendengar suara mang engkos, aku tinggalkan mainan robot robotanku berserakan dilantai dan berlari ke warung depan.
"Sri, kemari! Mamang bawakan mainan baru untukmu." Panggil mang engkos yang melihatku berlari dari dalam rumah.
"Ini apa mang?" Tanyaku sambil melihat benda ditangan mang engkos dengan berbinar-binar.
"Ini namanya globe sri, globe tiga dimensi."
"Globe tiga dimensi?" Aku tertegun, tak mengerti nama aneh itu.
"Iya sri, ini bola dunia. Bentuk bumi tempat kamu tinggal. Disini ni warung ibumu sri", ujar mang engkos sambil menunjuk gambar hijau-hijau pada bola biru itu.
Aku manggut-manggut saja sambil mengeja tulisan hitam besar dibawah telunjuk mang engkos 
"sa-mu-de-ra  hin-di-a."
"Apa sri namanya?" Tanyanya menunjuk warna biru dibelakang tulisan yang barusan ku eja.
"Samudera hindia." Ujarku tak yakin dan berpaling mengamati wajah mang engkos yang penuh keringat.
Menyadari kuperhatikan begitu, mang engkos segera mengambil lap yang menggantung dilehernya untuk menghapus keringat.
"Coba sri, kau ulangi lagi namanya tadi disini." Mang engkos menunjuk lubang kecil disamping tombol kuning.
"Samudera Hindia?" Tanyaku ragu-ragu.
"Iya, disini ya?" Pintanya agar aku bersuara di microphone yang ditunjukkannya. "Yang keras sri!"
"SAMUDERA HINDIA!" teriakku lantang.
"Bagus sri." Mang engkos mengacungkan jempolnya kepadaku.
"Nah sekarang, coba kamu pencet tombol kuning diatas itu." Ujar mang engkos bersemangat, menuntun tanganku memencet tombol kuning diatas bola itu.
Saat aku memencet tombol itu tiba-tiba bola biru itu berubah menjadi lampu yang terang. Lalu cahayanya berputar putar. Bagian bawah bola menjadi biru tua. Lalu naik ketengah menjadi biru muda. Dan yang diatas sendiri menjadi hijau. Bola itu kini menjadi lampu dengan tiga lapis warna: biru tua, biru muda dan hijau. 

Didalamnya banyak ikan-ikan dan kapal kapal. Ikan didalamnya cantik sekali. Berwarna warni. Ada yang kecil dan juga besar sekali. Ikan-ikan kecil bersembunyi dibatu warna warni. Aku senang mengintip mereka. 

Ternyata ada nimo disitu! Ikan milik kakak yang warnanya oranye dan putih. Ada ikan yang naik turun, bergerak-gerak. Lucu sekali. Mang Engkos bilang namanya lumba-lumba. Ada juga kapal perang yang besar. Ada juga kapal nelayan, seperti perahu kakek. Sontak senyumku makin lebar dan sejenak memalingkan wajahku ke mang engkos sambil menunjuk ikan-ikan itu.
"Bagus kan, sri?" Tanya mang engkos meyakinkanku. "Itu isinya Samudera Hindia sri. Kau mau kesana, Sri?"
"Ibuuuu, aku mau naik kapal ke samudera hindia. Mau lihat lumba lumba bu." Teriakku pada ibu yang sibuk menggoreng pisang.
Ibu hanya tertawa mendengar ocehanku. "Suruh antar mang engkos nak, pake becaknya."
"Hahhahaha." Mang engkos tertawa mendengar usulan ibu.
***
"Maang, kapan kita ke samudera hindia? Aku mau lihat ikan lumba-lumba."
"Naik becak juga tidak apa-apa."

Senja-Donggala, 2010

Hutan Buatan

Malam memang tak selamanya kelam tetapi dia memiliki kepekatan yang sanggup menyihir para peri. Bagaimanapun malam selalu menyenangkan bagiku. Sepulang kerja aku bisa menemani siara, gadis kecilku membaca dongeng favoritnya. Malam itu siara mengambil buku hitam, catatan harianku dari rak perpustakaan kecil rumah kami. Aku memang sengaja membiarkan tangannya yg lincah memilih buku apa saja untuk dia baca. Sebagai teman tidur, kisah pengantar mimpi. Pasalnya dia selalu protes, di sekolah tak bisa membaca semaunya, tak bisa menggambar sesukanya, selalu diatur pak guru nya.
“Ibu, siara mau baca ini ya?” Rajuknya manja.
“Iya nak, mau baca sendiri atau dibacakan?”
“Baca sendiri bu.”
“Baca nya yg keras dong, biar ibu bisa dengar.” Sebenarnya aku khawatir karena aku pun sudah lupa apa yg kutuliskan dibuku itu.
"Hutan Buatan." Ujarnya memulai cerita.
"Prabumulih sore itu nampak meradang, semburatnya yg merah bukan ulah senja yg indah. Merah adalah darah para petani yang ladangnya dibakar sampai mendidih. Nampaknya memang orang orang perkebunan ini semuanya sudah menjadi robot. Entah apa yg ada diotak mereka sampai ladang yg menjadi penghidupan kami dibakarnya hingga kerontang. Lumbung padi goncang, meski kami mendapat beberapa rupiah untuk ancang-ancang bila musim tak lagi menyenangkan. Perkebunan sawit katanya akan menghidupi para petani. Dengan upah yang lebih tinggi. Tapi janji para cukong seperti asap yang membubung tinggi, memangkas hutan dan memedihkan mata. Perut-perut keroncongan, lahan tak lagi ada. Oh, negeri-negeri yg malang. Aparat keparat!"
Siera mengernyitkan dahi dan menghela nafas panjang.
“Ibu aku tidak mengerti, ini cerita apa bu?”
Aku hanya tersenyum tipis sembari memutar otak mengarang cerita. Perlahan lahan aku mulai mengarang cerita untuknya sambil membelai rambutnya. Ku ambil buku hitam dari pangkuannya.

"Hutan Buatan"
"Sore itu pasukan berkuda mendatangi lahan lahan para petani. Salah satunya kakek. Kakek adalah petani teladan yang ditunjuk oleh teman temannya sebagai ketua geng. Dulu, tiap malam rumah kakek selalu ramai oleh teman-teman petaninya. Mereka sering datang untuk minum kopi, membakar ubi, menonton televisi sambil sesekali menertawai diri masing-masing dan berbincang soal padi. Tak hanya padi, apapun tentang kebun dan ladang. Tetapi sejak sore itu, mereka tak pernah datang."
“Kenapa bu?” Siera memotong ingin tau.
Aku hanya tersenyum sambil menerawang meneruskan kisahku.

"Sejak sore itu, setiap malam kakek selalu melamun duduk diteras sendiri. Kadangkala jika tidak ada pe er, ibu akan menemani kakek melihat rembulan. Jika beruntung, kakek akan mengajak ibu mengejar babi seperti malam itu. Malam itu ibu akhirnya tau kenapa teman-teman kakek tak pernah lagi datang untuk minum kopi."
“Kenapa bu?” Siara mengernyitkan dahi ingin tau. Tak sabar mendengar penjelasanku.
"Semua ladang telah habis dibakar. Sawah menjelma karpet hitam tempat para arwah. Disana sini ditancapkan patok putih nama perusahaan sawit raksasa. Ibu takut sekali. Bahkan ketika siang tak lagi berani menyambangi ladang, sawah dan kebun-kebun. Tempat yg dulu sangat menyenangkan, kini menjadi seperti kuburan yg menakutkan."
 Siara semakin merapatkan tubuhnya memelukku.
"Gubug gubug kecil tempat ibu bermain gundu dihalamannya kini gelap gulita. Tak ada lagi lentera. Sunyi senyap. Kakekmu berkali kali menghela nafas barangkali menahan sesuatu yg ingin meledak."
Hutan hilang. 
Hutan menjadi ladang. 
Hewan-hewan marah namun tak ada yg peduli. 
Mereka lari kesana kemari. Kebingungan.
Ladang hilang. 
Ladang menjadi kebun. 
Para petani pasrah, cukong terus merajalela. 
Mereka kelaparan. Tak ada yg peduli.
Kebun hilang. 
Kebun menjadi Villa. 
Para cukong makin serakah. 
Ingin menimbun emas dari sana sini. 
Kelaparan semakin menjadi. Mulai ada yang peduli.

"Didalam villa orang-orang membuat kebun buatan, hutan buatan, memenjarakan para hewan. Dirawat, diberi makan, disayangi. Tetapi hewan tak lagi punya tempat, petani tak lagi punya sawah, para cukong kekenyangan, kesakitan. Siara tak lagi tau hutan dengan pohon-pohonnya yang tinggi, hewan yang lucu, baik dan tak manja. Padahal di hutan itu siara, ada rumah pelangi yang sangat ramai."
***
“Ibu,jadi dulu kita bisa jalan jalan masuk kedalam hutan ya bu?”
“Iya nak.”
“Hutan seperti didalam game online ku bu?”
“Lebih indah nak.”
“Bisa sentuh binatang juga bu?”
“Bisa nak.”
“Bisa ditembak juga?”
Aku tersenyum, getir.
“Ayo bu kita kesana, ke hutan itu! Siara mau liat binatang, siara mau main tembak-tembakan disana.”
“Semua sudah mati nak, apa lagi yg mau ditembak?”
“Siapa yg menembak bu?”
“Orang-orang yg suka menembak.”
Siara nampak mengerutkan kening dan mendung menggelayut wajahnya, entah mengapa. 
“Ibu, siara tidak mau menembak, siara mau jalan jalan saja ke hutan. Bisa kan bu?”
“Tidak, Nak.”
***
Aku mematikan lampu. Lalu menutup pintu.




Wonomulyo, 2010