Sabtu, 21 Maret 2015

Hutan Buatan

Malam memang tak selamanya kelam tetapi dia memiliki kepekatan yang sanggup menyihir para peri. Bagaimanapun malam selalu menyenangkan bagiku. Sepulang kerja aku bisa menemani siara, gadis kecilku membaca dongeng favoritnya. Malam itu siara mengambil buku hitam, catatan harianku dari rak perpustakaan kecil rumah kami. Aku memang sengaja membiarkan tangannya yg lincah memilih buku apa saja untuk dia baca. Sebagai teman tidur, kisah pengantar mimpi. Pasalnya dia selalu protes, di sekolah tak bisa membaca semaunya, tak bisa menggambar sesukanya, selalu diatur pak guru nya.
“Ibu, siara mau baca ini ya?” Rajuknya manja.
“Iya nak, mau baca sendiri atau dibacakan?”
“Baca sendiri bu.”
“Baca nya yg keras dong, biar ibu bisa dengar.” Sebenarnya aku khawatir karena aku pun sudah lupa apa yg kutuliskan dibuku itu.
"Hutan Buatan." Ujarnya memulai cerita.
"Prabumulih sore itu nampak meradang, semburatnya yg merah bukan ulah senja yg indah. Merah adalah darah para petani yang ladangnya dibakar sampai mendidih. Nampaknya memang orang orang perkebunan ini semuanya sudah menjadi robot. Entah apa yg ada diotak mereka sampai ladang yg menjadi penghidupan kami dibakarnya hingga kerontang. Lumbung padi goncang, meski kami mendapat beberapa rupiah untuk ancang-ancang bila musim tak lagi menyenangkan. Perkebunan sawit katanya akan menghidupi para petani. Dengan upah yang lebih tinggi. Tapi janji para cukong seperti asap yang membubung tinggi, memangkas hutan dan memedihkan mata. Perut-perut keroncongan, lahan tak lagi ada. Oh, negeri-negeri yg malang. Aparat keparat!"
Siera mengernyitkan dahi dan menghela nafas panjang.
“Ibu aku tidak mengerti, ini cerita apa bu?”
Aku hanya tersenyum tipis sembari memutar otak mengarang cerita. Perlahan lahan aku mulai mengarang cerita untuknya sambil membelai rambutnya. Ku ambil buku hitam dari pangkuannya.

"Hutan Buatan"
"Sore itu pasukan berkuda mendatangi lahan lahan para petani. Salah satunya kakek. Kakek adalah petani teladan yang ditunjuk oleh teman temannya sebagai ketua geng. Dulu, tiap malam rumah kakek selalu ramai oleh teman-teman petaninya. Mereka sering datang untuk minum kopi, membakar ubi, menonton televisi sambil sesekali menertawai diri masing-masing dan berbincang soal padi. Tak hanya padi, apapun tentang kebun dan ladang. Tetapi sejak sore itu, mereka tak pernah datang."
“Kenapa bu?” Siera memotong ingin tau.
Aku hanya tersenyum sambil menerawang meneruskan kisahku.

"Sejak sore itu, setiap malam kakek selalu melamun duduk diteras sendiri. Kadangkala jika tidak ada pe er, ibu akan menemani kakek melihat rembulan. Jika beruntung, kakek akan mengajak ibu mengejar babi seperti malam itu. Malam itu ibu akhirnya tau kenapa teman-teman kakek tak pernah lagi datang untuk minum kopi."
“Kenapa bu?” Siara mengernyitkan dahi ingin tau. Tak sabar mendengar penjelasanku.
"Semua ladang telah habis dibakar. Sawah menjelma karpet hitam tempat para arwah. Disana sini ditancapkan patok putih nama perusahaan sawit raksasa. Ibu takut sekali. Bahkan ketika siang tak lagi berani menyambangi ladang, sawah dan kebun-kebun. Tempat yg dulu sangat menyenangkan, kini menjadi seperti kuburan yg menakutkan."
 Siara semakin merapatkan tubuhnya memelukku.
"Gubug gubug kecil tempat ibu bermain gundu dihalamannya kini gelap gulita. Tak ada lagi lentera. Sunyi senyap. Kakekmu berkali kali menghela nafas barangkali menahan sesuatu yg ingin meledak."
Hutan hilang. 
Hutan menjadi ladang. 
Hewan-hewan marah namun tak ada yg peduli. 
Mereka lari kesana kemari. Kebingungan.
Ladang hilang. 
Ladang menjadi kebun. 
Para petani pasrah, cukong terus merajalela. 
Mereka kelaparan. Tak ada yg peduli.
Kebun hilang. 
Kebun menjadi Villa. 
Para cukong makin serakah. 
Ingin menimbun emas dari sana sini. 
Kelaparan semakin menjadi. Mulai ada yang peduli.

"Didalam villa orang-orang membuat kebun buatan, hutan buatan, memenjarakan para hewan. Dirawat, diberi makan, disayangi. Tetapi hewan tak lagi punya tempat, petani tak lagi punya sawah, para cukong kekenyangan, kesakitan. Siara tak lagi tau hutan dengan pohon-pohonnya yang tinggi, hewan yang lucu, baik dan tak manja. Padahal di hutan itu siara, ada rumah pelangi yang sangat ramai."
***
“Ibu,jadi dulu kita bisa jalan jalan masuk kedalam hutan ya bu?”
“Iya nak.”
“Hutan seperti didalam game online ku bu?”
“Lebih indah nak.”
“Bisa sentuh binatang juga bu?”
“Bisa nak.”
“Bisa ditembak juga?”
Aku tersenyum, getir.
“Ayo bu kita kesana, ke hutan itu! Siara mau liat binatang, siara mau main tembak-tembakan disana.”
“Semua sudah mati nak, apa lagi yg mau ditembak?”
“Siapa yg menembak bu?”
“Orang-orang yg suka menembak.”
Siara nampak mengerutkan kening dan mendung menggelayut wajahnya, entah mengapa. 
“Ibu, siara tidak mau menembak, siara mau jalan jalan saja ke hutan. Bisa kan bu?”
“Tidak, Nak.”
***
Aku mematikan lampu. Lalu menutup pintu.




Wonomulyo, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo ngomen :)