Sabtu, 21 Maret 2015

Dalam Bayang Bayang Alam

Ranu pani, 12 Maret, desa itu di bulan ini nampak lengang. Posko pendakian memang sedang sepi. Semeru sedang diijinkan untuk bercengkerama dengan para hewan yang tak manja dan pinus-pinus yang ayu berpesta pora. Melantunkan sunyi sejak tak ada pendaki yang seringkali tak tau diri. Sunyi yang membunyikan irama indah milik para dewa dewi. Kali ini aku dan beberapa sahabat volunteer perlu menengok juga kesana, barangkali seminggu, mendengarkan kidung sunyi alam, bunyi indah yang sering sembunyi. Bukan untuk misi ambisius ala pendaki atau anak pecinta alam, aku hanya akan menukang disana. Membuat toilet knockdown. Sore sebelum kepergianku, gadis peneliti aneh, yang kujumpai beberapa minggu lalu mengirimiku sebuah pertanyaan. 
“Kenapa harus membuat toilet mas?” Pertanyaan bodoh, batinku. 
"Kujawab saja sekenanya: “Sudah tuntutan. Biar gak semakin kotor.
“Tapi mas, kenapa toilet? Yang parah bukannya sampah plastiknya ya?”
Gadis keras kepala itu terus saja bertanya hal-hal bodoh. Tapi tetap saja aku tak tahan untuk mengabaikannya. 
“Memang, tapi manusianya? Susah diatur. Buangnya sembarangan.” 
 Kudengar handphone ku berbunyi, dari gadis bodoh itu lagi. 
 “Tapi mas......” 
Kubiarkan saja pesannya yang memang sedikit mengganggu. Aku toh sedang sibuk mempersiapkan bekal untuk hidup dikumbolo nanti. Beberapa hari kedepan aku dan beberapa sahabat volunteer semeru yang kata teman perempuan gadis bodoh itu, anak-anak server, walaupun kami menyebutnya saver, akan membuat toilet di 3 titik di semeru. 

Aku sendiri tak pernah tau mengapa aku mau melakukan hal-hal seperti ini, yang di mata orang tua ku pasti dianggap kurang kerjaan. Mungkin juga sebenarnya aku hanya ingin lari dari kesedihan akan perasaan sepi. Sejak istriku meninggal dalam sebuah kecelakaan, aku memang tak berniat untuk membangun rumah tangga kembali. Apalagi putri kecilku kini telah berhasil hidup mandiri. Akhirnya kuhabiskan hidupku untuk mengembara dari gunung ke gunung. Sampai kakiku terpaku ditanah Ranu Pani, tempat yang berhasil membuatku jatuh cinta. 

Tempat dengan alam raya nya yang begitu kaya tetapi kontras dengan penduduknya yang jauh terbelakang. Kadangkala aku merasa sakit melihat mereka yang dari jauh menatap kagum luar biasa pada tamu-tamu bule tanpa sanggup berkata-kata. Akhirnya, aku berikan waktu dan kemampuanku yang tak seberapa dengan teman-teman untuk membangun perpustakaan kecil didesa, mengajar anak-anak membaca dan berbahasa inggris sekenanya agar mereka pun mampu menjadi setara. Aku sendiri kerap kesal pada guru-guru yang hanya datang seminggu sekali. Entah apa yang diajarkan di sekolah sampai masih banyak yang tak bisa baca tulis. 

Sebelum senja memunculkan Sang bathara kala, aku bergegas berkemas dan menancapkan gas menuju Ranu Pani. Diperjalanan, seperti biasa kabut turun menyapa dalam dingin. Tubuhku memang sudah terbiasa dengan hawa dingin tetapi aku agak malas membayangkan harus melewati jalan-jalan terjal yang berlubang selepas desa Ngadas, yang tak juga kunjung diperbaiki pemerintah. Meski masyarakat Tengger adalah orang-orang yang taat membayar pajak. Yang lebih mengherankan, katanya daerah yang kulalui ini termasuk dalam destinasi wisata internasional. Tapi, mengapa aku harus heran? Toh memang beginilah kelakuan pemerintah, birokrasi berbelit-belit, masyarakat dibiarkan sulit. Ngadas memang desa diujung kabupaten Malang sementara Ranupani desa diujung kabupaten Lumajang. Barangkali jalan yang menghubungkan kedua desa itu yang sudah lumayan parah, tak juga dibenahi karena tak ada kabupaten yang merasa bertanggung jawab. Lalu dimanakah pemerintah pusat? Ah, pusat selalu saja bermasalah. Meski maunya uang dan proyek menumpuk saja dipusat. Seandainya tak pernah ada pusat barangkali segalanya menjadi lebih mudah. 

Kuantarkan senja tepat setelah melewati vihara desa Ngadas. Vihara yang cukup unik, ada dua bangunan disana yang kental nilai akulturasi. Bangunan pertama adalah bekas punden tempat masyarakat desa sejak dulu melakukan upacara adat pujan sampai unan-unan. Dari tepi jalan, tengok saja papan nama didepan bangunan, ada dua huruf yang menandai vihara, akasara jawa yang berbunyi: sanggar pasembahan jawa sanyata dan huruf latin: sanggar pasembahan vihara paramita. Orang-orang tengger Ngadas biasa menyebut organisasi mereka sebagai Budha Jawa Sanyata. Agama mayoritas yang dianut didesa ini. Masyarakat Ngadas memang agak berbeda dengan masyarakat didesa Tengger lain yang mayoritas mengaku beragama Hindu Jawa. Berbeda dengan Hindu Bali, katanya tak ingin disamakan. 

Gelap menggelayut, jalan-jalan terjal berlubang mulai nampak dipelupuk, kukuatkan semangatku dan membatin semoga motor tak bermasalah. Beberapa truk sayur yang kemalaman nampak berlalu lalang, terpaksa kuhentikan laju motor sebentar dan memastikan rekan dibelakangku aman tak tertinggal. Jalanan ini memang melelahkan. Kutunggu teman yang lampu motornya agak bermasalah. 
“Sira, disikko wae.” (kamu duluan saja). 
Setelah agak payah dengan perjalanan malam, kami memasuki kampung tepat diujung adzan isya’ yang terdengar dari masjid. Kuhampiri rumah salah seorang temanku, Sis, yang sedang mengajar anak-anak membaca. Melihat Sis dan anak-anak disini selalu memompa semangatku, menguatkan diriku, bahwa sekecil apapun yang kulakukan disini begitu berarti dan berharga untuk mereka. Meski barangkali aku hanya lari dari sepi, mencari sebuah kehidupan yang menentramkan. Kuinsyafi satu hal malam itu, merekalah yang sebenarnya memberikan dan mengajarkan arti kehidupan untukku. Dalam hal ini, bukan aku atau Sis yang menjadi guru, merekalah guru kami. 

Kuajak Sis untuk melakukan persiapan dibasecamp yang baru kemarin selesai dicat sambil melakukan briefing untuk keberangkatan kekumbolo esok. Ku bonceng dia melalui danau yang mulai kotor dan dangkal. Danau yang tetap menjadi tempat orang-orang betah semalaman memancing tanpa peduli dingin yang menusuk tulang. Sangat disayangkan memang, mereka hanya tau memancing dan sesekali menggerutu tentang danaunya yang semakin banyak sampah. Menuding para tamu tak bertanggung jawab yang hanya bisa foto-foto, ngecamp dan nyampah. Memang mungkin rasanya indah jika danau ini dimiliki dan dijaga bersama-sama. Tak perlu lagi ada sampah yang berceceran dari ladang maupun wisatawan, tak perlu ada warga yang menggerutu karena tempatnya kotor dan wisatawan yang sah-sah berfoto dengan pemandangan yang tentunya jauh lebih indah, tanpa sampah. Ah, seandainya. 

Kuparkir motor ku didepan basecamp, anak-anak saver sudah banyak yang didalam. Sambil menyeduh kopi panas kami berbincang perihal rencana kekumbolo esok, membagi tugas dan mengecek persiapan lagi. Tak butuh waktu lama memang karena kami toh sudah terbiasa mendaki tanpa perlu lagi diberitau itu ini. Malam ini kututup dengan banyak angan-angan. Semoga esok alam berkenan menyapaku dalam nyanyi sunyi nya yang luar biasa indah. Esok pagi matahari tampak malu-malu, awan gelap mendominasi langit Ranu Pani. Pukul 10 kami serombongan memantapkan langkah berangkat menuju Ranu Kumbolo, setelah berdoa untuk keselamatan. Sampai di pos 1, hujan deras mengguyur. Kami putuskan untuk rehat sambil mengambil beberapa jas hujan untuk melindungi badan. Alam, memang tak selamanya mudah dalam bekerjasama. Tapi dalam rintik air yang deras itu, ku tangkap satu pesan dari hujan... 

Pertemuan kita adalah tatapan hati 
Yang derasnya kita kumpulkan sendiri 
Menjelma dingin yang mengantarkan gigil 
Dan basah pada kuyup tubuhku 
Sebab rindumu pada bumi 
Yang kau simpan rapat di tiap rintikmu 
Hingga ia jatuh dan meruapkan wangi 
Wangi, yang membuat iri para dewa dewi 

Dari jauh, kudengar sayup-sayup nasehat pak tomo, dukun Tengger dalam perbincangan kami beberapa waktu lalu. 
“Wong Tengger nek pengen anteng tur seger, kuncine mung siji: memayu hayuning bawana.”
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

monggo ngomen :)