Kamis, 16 April 2015

Senja Milik Perempuan Tua

senja yang teduh. datang seusai siang yang meradang. diberanda duduk bersama, dua perempuan biasa. dalam busana apa adanya. mereka berbagi luka.

ditemani teh hangat dan pisang goreng panas. kisah mulai dituturkan, masa lalu yang kelam serupa bayang-bayang malam. ada, tapi tak utuh terjangkau. hanya rasa sakitnya masih terasa denyutnya.

Perempuan tua itu masih ingat ketika pertama kali, gadis muda itu mulai berkeluh kesah. Tentang kisah kasihnya bersama seorang lelaki bajingan yang tak tau diuntung. Sampai kini, gadis muda itu tak berhasil memahami bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti lelaki itu. tanpa merasa bersedih sedikitpun. Bahkan sejak malam itu dan sesudah taun-taun berselang, tak sepatah kata maafpun terluncur dari mulut lelaki hina itu. Memang barangkali kata-kata itu terlalu suci untuk diucapkannya. Kebenciannya berlipat-lipat. Serupa kesumat yang penuh kutuk dan harapan buruk. Telah dihancurkannya hidupnya, masa mudanya yang hanya sebentar untuk memperjuangkan lelaki bangsat tak tau diuntung itu. Sudah tak terhitung berapa keringat yang diperasnya untuk menyambung hidup lelaki tak tau malu itu. Tak cukup hanya keringatnya, kini sepeninggalnya, lelaki itu juga merenggut cahaya kehidupannya. Menghancurkan cita-cita dan harapan orang tuanya. Gadis muda yang menjadi kebanggan orang tuanya dulu, kini hanya menjadi manusia rongsokan yang banyak dicela dan dikucilkan. Karena kebiasaannya yang aneh dan kerap mengurung diri. Prestasi-prestasinya disekolah yang berderet-deret hanya menjadi kenangan, dia menjadi gadis paling bodoh yang pernah dikenalnya sendiri.
“perempuan sejati tak hidup berkalang lelaki.”   Dengusnya lembut selembut asap cigaret yang dihembuskan dari pipa tuanya. Kata pertama yang diucapkannya untuk gadis muda itu.
Semesta tau dan tak pernah berhenti menjaga keseimbangannya. Dipertemukannya gadis muda itu kepada perempuan tua yang kini duduk diberanda bersamanya. Perempuan senja, begitu gadis muda itu biasa memanggilnya. Perempuan yang tak mengenal bangku sekolah tetapi hafal banyak isi buku-buku diperpustakaan. Perempuan yang kecerdasannya terasah di alam yang liar. Perempuan yang ketangguhan jiwanya tak pernah berhasil dijangkau gadis cabe-cabe an di masanya.
“...tetapi bukan berarti perempuan tak butuh lelaki untuk dicintai.” Lanjut perempuan tua itu tegas, setegas raut wajahnya yang mulai keriput.
Perempuan itu bukan nyai Ontosoroh, bukan nyai wonokromo, tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer, pengarang yang tulisannya digandrungi gadis muda itu. Perempuan itu adalah petani desa, ibu rumah tangga yang menikah dua kali dengan lelaki biasa biasa saja dan hanya memiliki anak dari pernikahan keduanya. Perempuan yang hatinya diperbaja dan ditempa oleh perbuatan suami dan anak-anak lelakinya sendiri...........

(bersambung)