senja yang teduh. datang seusai
siang yang meradang. diberanda duduk bersama, dua perempuan biasa. dalam busana
apa adanya. mereka berbagi luka.
ditemani teh hangat dan pisang
goreng panas. kisah mulai dituturkan, masa lalu yang kelam serupa bayang-bayang
malam. ada, tapi tak utuh terjangkau. hanya rasa sakitnya masih terasa
denyutnya.
Perempuan tua itu masih ingat
ketika pertama kali, gadis muda itu mulai berkeluh kesah. Tentang kisah
kasihnya bersama seorang lelaki bajingan yang tak tau diuntung. Sampai kini, gadis muda itu tak berhasil memahami bagaimana bisa orang berbuat jahat seperti lelaki itu. tanpa
merasa bersedih sedikitpun. Bahkan sejak malam itu dan sesudah taun-taun berselang,
tak sepatah kata maafpun terluncur dari mulut lelaki hina itu. Memang
barangkali kata-kata itu terlalu suci untuk diucapkannya. Kebenciannya
berlipat-lipat. Serupa kesumat yang penuh kutuk dan harapan buruk. Telah
dihancurkannya hidupnya, masa mudanya yang hanya sebentar untuk memperjuangkan
lelaki bangsat tak tau diuntung itu. Sudah tak terhitung berapa keringat yang
diperasnya untuk menyambung hidup lelaki tak tau malu itu. Tak cukup hanya
keringatnya, kini sepeninggalnya, lelaki itu juga merenggut cahaya
kehidupannya. Menghancurkan cita-cita dan harapan orang tuanya. Gadis muda yang
menjadi kebanggan orang tuanya dulu, kini hanya menjadi manusia rongsokan yang
banyak dicela dan dikucilkan. Karena kebiasaannya yang aneh dan kerap mengurung
diri. Prestasi-prestasinya disekolah yang berderet-deret hanya menjadi
kenangan, dia menjadi gadis paling bodoh yang pernah dikenalnya sendiri.
“perempuan sejati tak hidup berkalang lelaki.” Dengusnya lembut selembut asap cigaret yang dihembuskan dari pipa tuanya. Kata pertama yang diucapkannya untuk gadis muda itu.
Semesta tau dan tak pernah
berhenti menjaga keseimbangannya. Dipertemukannya gadis muda itu kepada
perempuan tua yang kini duduk diberanda bersamanya. Perempuan senja, begitu
gadis muda itu biasa memanggilnya. Perempuan yang tak mengenal bangku sekolah
tetapi hafal banyak isi buku-buku diperpustakaan. Perempuan yang kecerdasannya
terasah di alam yang liar. Perempuan yang ketangguhan jiwanya tak pernah
berhasil dijangkau gadis cabe-cabe an di masanya.
“...tetapi bukan berarti perempuan tak butuh lelaki untuk dicintai.” Lanjut perempuan tua itu tegas, setegas raut wajahnya yang mulai keriput.
Perempuan itu bukan nyai
Ontosoroh, bukan nyai wonokromo, tokoh rekaan Pramoedya Ananta Toer, pengarang
yang tulisannya digandrungi gadis muda itu. Perempuan itu adalah petani desa,
ibu rumah tangga yang menikah dua kali dengan lelaki biasa biasa saja dan hanya memiliki anak dari pernikahan
keduanya. Perempuan yang hatinya diperbaja dan ditempa oleh perbuatan suami dan
anak-anak lelakinya sendiri...........
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
monggo ngomen :)